Wednesday, November 27, 2013

Melongok Kehidupan di Kolong Jembatan

SIANG itu matahari tepat berada di atas kepala. Sinarnya terasa sangat menyengat pori-pori kulit. Sepertinya hal ini tidak dirasakan orang-orang yang tinggal di kolong jembatan Guntur, Manggarai, Jakarta Selatan. Dari kejauhan mereka tampak santai menikmai waktu beristirahat. Ada yang terlihat sedang menyerok sampah dan ada pula anak-anak yang meloncat dari kolong jembatan untuk berenang di kali yang airnya berwarna kecoklatan.
Cukup sulit untuk menjangkau kolong jembatan itu. Jalan setapak yang menurun di pinggir Proyek Banjir Kanal itu harus dilalui terlebih dahulu, baru kemudian tampak bangunan ala kadarnya di antara pondasi-pondasi beton yang berdiri kokoh. Suasana tampak tidak teratur dengan banyak sampah-sampah plastik. Sebanyak 13 keluarga hidup di kolong jembatan.
Mereka hidup di bawah deru kendaraan bermotor yang melintasi jembatan, kesulitan air bersih, tanpa lampu penerangan, dan berkawan nyamuk pada malam hari.
***
SENTIMEN miring mengenai sikap dan perilaku orang-orang kolong jembatan tidak terbukti di sini. Suasana santai dan ramah mereka hadirkan menyambut siapa saja yang ingin melihat ataupun sejenak merasakan bagaimana tinggal di kolong jembatan. Dulu pernah ada mahasiswa UI datang ke sini membuat tugas dari kampusnya. Kita mah terbuka aja, kan mereka disuruh dosennya, ujar Dargo, 35.
Dargo, pria berambut lurus berwajah tirus dengan kacamata berwarna merah pudar ala John Lennon ini, sudah tinggal delapan tahun di kolong jembatan Guntur. Sejak putus sekolah Kelas V SD, Dargo pergi ke Jakarta merasakan kerasnya hidup di jalanan. Saya nggak pengen nyusahin orang tua, katanya sambil sesekali mengisap rokok. Tidak ada kecanggungan baginya menceritakan pengalaman hidup.
Yang terpenting bagi mereka adalah sikap sopan. Mereka akan menyambut siapa saja yang datang dengan niat baik. Kalo mereka pengen menanyakan tentang kehidupan kita yang sebenarnya, akan kita ceritain, ujar Darta, 52. Cara bicara Bang Darta --panggilan akrabnya-- terlihat tenang, teratur, dan kadang-kadang terselip sedikit petuah-petuah kehidupan. Melihat hal itu, tidak disangka kalau Bang Darta tidak pernah mengenyam bangku pendidikan.
Sejak umur delapan tahun pria yang sudah menikah dua kali ini pergi ke Jakarta meninggalkan kota asalnya Brebes, Jawa Tengah. Hingga usia belasan tahun dia bekerja sebagai kuli bangunan. Asam-garam hidup telah banyak ia reguk. Baginya semua kehidupan bergantung pada takdir Tuhan. Rezeki, hidup, dan mati bisa terjadi dimana saja dan kapan saja. Mungkin hal inilah yang diyakini oleh orang-orang sepertinya yang tinggal di kolong jembatan. Kepasrahan sepertinya sudah menjadi kewajiban yang harus mereka terima untuk menikmati dan menjalani hidup di sana.
Meskipum pasrah pada nasib namun masih saja terselip kekhawatiran akan keselamatan diri dan keluarga. Takut jembatan rubuh, kata itulah yang spontan keluar dari mulut Bang Darta, manakala ditanyakan hal apa yang paling ditakuti tinggal di kolong jembatan.
***
HAL lain yang tidak kalah mengerikan adalah ketika petugas pengamanan ketertiban datang membersihkan wilayah kolong jembatan. Kemana lagi mereka akan berteduh dari panasnya sengatan matahari dan menghindari tetes air hujan yang bisa turun kapan saja. Selain itu banjir kiriman saat musim hujan datang juga membuat resah hati mereka. Ketika banjir datang biasanya alat-alat perlengkapan yang dianggap penting mereka gantung di tiang-tiang jembatan. 
Meskipun umurnya sudah lebih dari setengah abad namun kulit Bang Drajat masih terlihat kencang. Tangannya masih sigap menyerok sampah-sampah yang lewat di sungai. Hari ini pendapatan sedikit. Sudah setengah hari barang-barang yang dikumpulin belum juga banyak, katanya diselingi suara canda tawa anak-anak yang sedang bermain terjun ke sungai. 
Setiap harinya pendapatan dari mulung dan nyerok tidak menentu. Tetapi biasanya dalam sehari uang Rp20.000 bisa ia genggam. Menurutnya uang sebesar itu tidak cukup untuk biaya kehidupan sehari-hari dan harus pintar memutarnya. Selain itu sebagian uang yang didapat dikirim juga ke kampung.
Kebetulan hari itu istri dari pernikahan keduanya, Surati, 35; datang menjenguk. Istri pertama Bang Drajat meninggal karena penyakit jantung. Dari istri pertamanya lelaki berkumis ini mempunyai tiga anak dan enam cucu yang kesemuanya tinggal di Cirebon, Jawa Barat. 
Seketika matanya memerah dan air-mata mengalir pelan ketika dia menceritakan tentang istri keduanya yang akan pergi ke Arab Saudi untuk menjadi tenaga kerja d isana. Ada keinginan yang besar untuk tidak membiarkan istrinya pergi terlalu jauh. Pengen rasanya istri nggak pergi ke sana tapi mau gimana lagi, keadaan kita juga begini, katanya dengan nada yang sedikit terbata-bata. Bang Drajat sangat mencintai istri dan anak tirinya. Kehilangan istri pertama membuatnya sangat terpukul, namun kini Surati juga akan pergi jauh meninggalkannya untuk waktu yang lama.
***
HAL yang tidak jauh berbeda juga menimpa pria kelahiran 1957 yang tidak ingin disebutkan namanya. Pria kurus ini sudah hampir 20 tahun lebih tinggal di kolong jembatan yang berbeda dengan Dargo dan Darta. Ada sebuah trauma lama yang menghinggapi pikirannya bilamana kehidupan yang dia jalani bersinggungan dengan media. 
Kemarin juga ada TV yang ngeliput kita, tapi abis acaranya diputer nggak lama Tramtib datang, katanya sambil menggendong cucunya.
Sebelum tinggal di kolong jembatan, lelaki kelahiran Purwakarta, Jawa Barat ini pernah ikut program transmigrasi ke Kalimantan Timur dekat perbatasan Malaysia. Nggak sampe enam bulan saya tinggal di sana. Pendapatan sama biaya hidup nggak seimbang, ujarnya.
Semua aktifitas dari mencuci, makan, dan buang hajat mereka lakukan di kolong jembatan. Alas untuk tidur dan bersantai hanya berupa papan yang disambung-sambung dan untuk pembatas masing-masing keluarga dibentangkan kain yang membentuk kotak sebagai sekat.
Karena terbiasa hidup di kolong-pun, Juned, 12; tidak takut lagi bermain ke sana-ke mari di antara tiang-tiang beton. Juned mengaku sudah beberapa kali jatuh ke sungai. Bocah yang putus sekolah sejak Kelas III SD sudah tidak punya ibu, sedangkan bapaknya hanya seorang pemulung.
Bagi warga yang tinggal di kolong jembatan kemudahan fasilitas dan kebijakan negara tidak pernah mereka rasakan. Saat gencar-gencarnya bantuan langsung tunai, mereka tidak pernah terdata. Saat orang larut dalam suasana pesta demokrasi, mereka juga tidak terdata sebagai pemilih. Kita kan sebenarnya punya hak. Kita kan juga orang Indonesia, katanya. 
Harapan warga kolong sangat sederhana, mereka ingin mendapat pekerjaan. Karena dengan bekerja mereka dapat membali makan, membeli pakaian, mengontrak rumah, dan membeli kebutuhan lainnya. Tapi mereka sadar bahwa kesempatan itu belum berpihak kepada mereka. Hidup terus mengalir seperti air sungai yang arusnya tenang, meskipun keruh dan bau. Tapi inilah kehidupan mereka.(pk-21)

No comments:

Post a Comment